Pekanbaru | Penanganan perkara dugaan tindak pidana penganiayaan dan perusakan yang terjadi di kawasan Bundaran Keris, Jalan Pattimura, Cinta Raja, Pekanbaru, kembali mengemuka setelah kuasa hukum RM, Afriadi Andika, S.H., M.H., mendesak kepolisian segera melakukan penahanan terhadap terlapor berinisial RN. Kasus yang bermula dari laporan korban terkait dugaan perusakan gerobak dan aksi premanisme itu kini memasuki fase penyidikan.
Perkara ini pertama kali dilaporkan melalui Surat Tanda Penerimaan Laporan Pengaduan Nomor: STPLP/253/IV/2025/POLRESTA PEKANBARU tertanggal 27 April 2025. Laporan tersebut kemudian naik ke tahap penyidikan berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/1111/IX/2025/SPKT/Polresta Pekanbaru/Polda Riau, pada 28 September 2025 pukul 11.14 WIB.
Korban RM, melalui kuasa hukumnya, menyampaikan bahwa peristiwa dugaan pengrusakan gerobak dilakukan oleh satu orang yang juga diduga terlibat dalam praktik premanisme. Aksi tersebut terjadi di kawasan Bundaran Keris, lokasi yang dikenal sebagai titik aktivitas pedagang kecil di Kota Pekanbaru.
Pihak kuasa hukum menilai tindakan yang dilaporkan korban bukanlah peristiwa biasa, melainkan perbuatan terang benderang yang memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam pasal 406 KUHP tentang perusakan barang milik orang lain. Meski ancaman pidana pasal tersebut berada di bawah lima tahun, Afriadi Andika menegaskan bahwa kerugian nyata yang ditimbulkan sudah cukup menjadi pertimbangan bagi kepolisian untuk melakukan penahanan.
Dalam penegasannya, Afriadi meminta aparat kepolisian bersikap cepat dan profesional. Menurutnya, keberadaan terlapor yang “masih berkeliaran” membuat masyarakat dan para pedagang di Bundaran Keris merasa khawatir dan tidak aman. Ia menyebut keadaan ini sebagai alasan kuat berdasarkan Pasal 21 KUHAP tentang syarat subjektif penahanan.
Pasal tersebut menjelaskan bahwa penahanan dapat dilakukan apabila ada kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, hingga mengulangi tindak pidana. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 juga mempertegas bahwa syarat penahanan harus didukung minimal dua alat bukti yang sah dan dibarengi surat perintah penahanan yang jelas serta disampaikan kepada keluarga tersangka.
Afriadi menilai unsur kesengajaan atau “mens rea” dalam kasus ini telah terlihat jelas dan dapat dikonstruksi bersama “actus reus” atau perbuatan fisik melawan hukum yang dilakukan. Kedua unsur tersebut, menurutnya, cukup kuat untuk memberikan dasar pertanggungjawaban pidana kepada terlapor.
Selain soal penahanan, kuasa hukum RM menyoroti maraknya praktik premanisme di kawasan pusat kota Pekanbaru. Ia menyebut premanisme sebagai “penyakit sosial” yang menghambat pertumbuhan ekonomi masyarakat kecil, khususnya para pedagang yang menggantungkan hidup di wilayah tersebut. Ia meminta Polresta Pekanbaru melakukan langkah tegas dan terukur untuk memberantas aksi premanisme.
Afriadi juga mengingatkan bahwa kewenangan yang diberikan undang-undang kepada penyidik harus digunakan secara profesional, tidak disalahgunakan, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat. Ia menekankan bahwa optimalisasi penegakan hukum hanya dapat dicapai jika proses penyelidikan hingga penyidikan berjalan transparan serta mengutamakan kepastian hukum.
Di akhir keterangannya, kuasa hukum RM mendorong Polri memperkuat kepercayaan publik. Ia menegaskan kembali amanat Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang menempatkan Polri sebagai alat negara yang bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, sekaligus menjadi garda terdepan penegakan hukum. Menurutnya, respons tegas terhadap tindak premanisme adalah salah satu cara terbaik untuk memulihkan rasa aman masyarakat Pekanbaru.
CATATAN REDAKSI:
Tulisan ini disusun berdasarkan keterangan kuasa hukum pelapor serta dokumen laporan resmi yang telah diterima aparat penegak hukum. Redaksi membuka ruang bagi pihak terlapor atau Polresta Pekanbaru untuk memberikan tanggapan demi keberimbangan informasi.
TIM