KAMERA JAHAT

Berita

Peristiwa

Showbiz

Ad Placement

Foto

Video

Selasa, 25 November 2025

BADKO HMI SUMBAR SURATI RUMAH SAKIT DAN UNIVERSITAS TEMPAT ANGGOTA DPD RI CERINT IRALLOZA TASYA COAS

Padang, Selasa 25 November | Menindaklanjuti polemik dugaan anggota DPD RI dapil Sumatera Barat Cerint Iralloza Tasya yang sedang melaksanakan koas di Rumah Sakit M. Natsir Solok, sebelumnya Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Sumatera Barat melalui Ketua Bidang Fadhli Hakimi meminta kepada anggota DPD RI Cerint Iralloza Tasya untuk segera memberikan keterangan kepada publik terkait benar atau tidaknya, namun yang bersangkutan bungkam tidak memberikan keterangan sedikitpun. 

Kali ini Badko HMI Sumbar secara resmi mengirimkan surat permohonan klarifikasi kepada instansi terkait yakni kepada Rumah Sakit Muhammad Natsir kota Solok dan Universitas Baiturrahmah Padang tempat Cerint Iralloza Tasya berkuliah. Dan juga kepada Rumah Sakit Ahmad Mukhtar Bukittinggi melalui HMI Cabang Bukittinggi yang meminta keterangan langsung ke RSAM Bukittinggi. Surat tersebut meminta keterangan resmi dari pihak Rumah Sakit Dan Kampus sebagai bentuk klarifikasi benar tidaknya Anggota DPD RI Cerint Iralloza Tasya sedang menjalankan KOAS.

Berdasarkan data PDDIKTI memang benar anggota DPD RI Cerint Iralloza Tasya aktif kembali kuliah profesi dokter semester ganjil 2025/2026, dengan nomor NIM 22100xxxxx45 dugaan ini kembali menguat bahwa Cerint Iralloza Tasya aktifkan kembali program profesi dokternya untuk mengikuti KOAS.

Dalam keterangan kepada wartawan, Fadhli membenarkan bahwa BADKO HMI Sumbar telah mengirimkan surat resmi kepada Universitas Baiturrahmah dan Rumah sakit M. Natsir di Solok. dan Fadhli juga mengatakan bahwa persoalan ini harus diungkap seterang-terangnya kepada publik. "Kita tunggu klarifikasi pihak terkait untuk memberikan keterangan ini 1x24 jam, dan kami rasa untuk membuka data fakta ini tidak perlu memakan waktu lama, cukup benar atau tidak Cerint Iralloza Tasya sedang melaksanakan coas" ungkap Fadhli

Untuk sesama diketahui bahwa jabatan DPD RI merupakan amanat Rakyat Sumatera Barat sementara jika benar Cerint Iralloza Tasya menjalankan KOAS di rumah sakit tentu saja menyita waktu penuh dalam kegiatan Koas yang berlangsung selama 18-28 bulan lamanya.

Disamping menunggu keterangan resmi dari pihak terkait, Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Sumatera Barat tetap melaksanakan konsolidasi internal dan pendalaman kajian terhadap kasus dugaan Rangkap tugas antara koas dan jabatan DPD RI oleh Cerint Iralloza Tasya tersebut.

TIM

Kamis, 20 November 2025

lKlarifikasi Keluarga Berujung Perdamaian Farhan dan W Sepakat Selesaikan Secara Kekeluargaan

PEKANBARU | Klarifikasi laporan Farhan terhadap W (51) yang sempat menarik perhatian publik kini berujung pada suasana yang jauh lebih sejuk. Peristiwa pada 4 April 2025, yang sebelumnya tercatat sebagai dugaan pengancaman dan pengrusakan, mulai menemukan titik terang setelah kedua pihak sepakat membuka ruang dialog.

Keluarga menjelaskan bahwa insiden tersebut bermula dari situasi penuh emosi yang memicu kesalahpahaman di antara keduanya. Percikan kecil dalam suasana tegang berkembang menjadi miskomunikasi hingga akhirnya berujung pada laporan. Namun setelah semua kembali tenang, kedua belah pihak menilai bahwa persoalan tersebut lebih tepat disebut sebagai urusan internal keluarga, ujar Yetti pada awak media.

Pertemuan yang direncanakan antara Farhan dan W menjadi momen penting untuk menegaskan niat baik dari kedua pihak. Mereka ingin menyelesaikan perselisihan tanpa menambah luka baru. Menurut Yetti, tidak pernah ada itikad buruk untuk menyakiti satu sama lain. Yang terjadi hanyalah luapan emosi pada waktu yang kurang tepat.

Dalam suasana yang lebih teduh, keluarga besar akhirnya memilih jalur damai sebagai langkah penyelesaian. Musyawarah dinilai sebagai pilihan paling bijak, bukan hanya menjaga hubungan darah tetapi juga menghindarkan persoalan agar tidak bergeser ke ranah lain yang tidak perlu.

Yetti menegaskan bahwa langkah ini bukan sekadar upaya meredakan masalah, tetapi wujud kedewasaan kedua pihak dalam menahan diri dan melihat persoalan dengan kepala dingin. Keluarga, menurutnya, selalu memiliki ruang untuk memperbaiki hubungan, dan ruang itulah yang sekarang mereka manfaatkan.

Selain menetapkan perdamaian, keluarga juga berharap publik tidak kembali memperbesar isu yang sebenarnya sudah mereda. Yetti mengingatkan bahwa ketenangan bersama jauh lebih penting dibanding membiarkan cerita berkembang tanpa arah dan menimbulkan spekulasi baru.

Ia juga menyampaikan terima kasih kepada masyarakat yang sebelumnya memberikan perhatian dan dukungan. Menurutnya, dukungan itu menjadi bukti bahwa persoalan dapat diselesaikan secara baik selama komunikasi dibuka dan ego diturunkan bersama.

Dari langkah yang kini diambil, kedua pihak berupaya memastikan bahwa kejadian ini menjadi pelajaran berharga, bukan pemicu retaknya hubungan keluarga. Penyelesaian secara kekeluargaan diyakini sebagai cara terbaik untuk merawat kedamaian yang sempat terusik.

Catatan redaksi: Naskah ini disusun berdasarkan keterangan resmi keluarga dan klarifikasi langsung dari pihak terkait sebagai bentuk pelurusan informasi untuk kepentingan publik.

TIM

Selasa, 18 November 2025

Lansia Terima Dana Tak Utuh, Penyaluran BLT di Tanjung Bonai Dipertanyakan

LINTAU | Dugaan ketidaksesuaian penyaluran Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) di Nagari Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar, kembali memantik perhatian publik. Temuan lapangan pada Selasa (18/11/2025) mengungkap indikasi penyimpangan berupa pemotongan dana tanpa dasar, jumlah yang tidak sesuai aturan, hingga kasus tanda tangan penerimaan tanpa pencairan dana.

Sejumlah warga lansia yang menjadi penerima manfaat menyebut bahwa dana yang mereka terima tidak sesuai dengan nominal resmi yang ditetapkan pemerintah. Pengurangan dilakukan tanpa penjelasan dari pihak yang menyalurkan bantuan, sehingga menimbulkan dugaan kuat adanya permainan yang merugikan masyarakat kecil.

“Saya didatangi petugas untuk menerima bantuan, tapi uangnya sudah berkurang. Tidak ada pula yang menjelaskan alasan pemotongan itu,” ujar salah satu penerima yang meminta namanya tidak dipublikasikan. Keluhan ini terdengar dari beberapa jorong di nagari tersebut, bukan hanya satu wilayah.

Lebih parah lagi, muncul laporan dari seorang warga yang mengaku telah dua kali diminta menandatangani bukti penerimaan BLT sepanjang tahun 2025, tetapi tidak pernah menerima uang tersebut. Warga itu menyebut tak ada satu pun pihak yang memberikan jawaban jelas mengenai hilangnya haknya sebagai penerima.

Kasus demi kasus yang terungkap semakin memperkuat dugaan ketidakberesan administrasi maupun mekanisme penyaluran BLT-DD. Warga menilai bahwa proses distribusi tidak transparan dan berpotensi dimanfaatkan oleh oknum tertentu.

Informasi lain yang diperoleh dari lapangan menyebut bahwa Ketua BPRN Tanjung Bonai telah memprotes secara resmi melalui surat yang dikirimkan kepada Wali Nagari pada 6 November 2025. Surat itu berisi permintaan klarifikasi, penertiban penyaluran bantuan, hingga rekomendasi untuk dilakukan pemeriksaan mendalam terhadap proses distribusi BLT. Namun hingga berita ini ditulis, tidak ada jawaban resmi dari pihak Wali Nagari.

Salah seorang tokoh masyarakat menilai bahwa diamnya pemerintah nagari justru memperburuk situasi. “Surat BPRN sudah masuk. Tapi tidak dijawab sampai sekarang. Wajar kalau masyarakat curiga,” ujarnya.

Warga juga menyayangkan tidak adanya papan informasi BLT-DD, daftar resmi penerima, maupun rincian alokasi dana. Minimnya keterbukaan ini menambah kuat dugaan bahwa pengelolaan BLT di tingkat nagari tidak berjalan sesuai ketentuan.

Desakan agar dilakukan pemeriksaan mendalam semakin mengemuka. Masyarakat meminta pemerintah nagari, kecamatan, hingga kabupaten untuk turun tangan melakukan audit terbuka terhadap penyaluran BLT-DD di Tanjung Bonai. Mereka menilai bahwa masalah ini menyangkut hak warga lansia dan masyarakat berpenghasilan rendah yang seharusnya menerima bantuan secara penuh.

“Tidak cukup hanya klarifikasi. Harus ada audit resmi supaya semua jelas,” ungkap salah satu warga dengan tegas.

Sampai berita ini diterbitkan, Pemerintah Nagari Tanjung Bonai belum memberikan keterangan apa pun mengenai dugaan pemotongan dana, ketidaksesuaian jumlah, tanda tangan tanpa pencairan dana, maupun alasan tidak dijawabnya surat resmi dari BPRN.

Masyarakat berharap kejadian ini menjadi momentum pembenahan total terhadap tata kelola dana desa. Warga mendesak agar sistem distribusi BLT diperbaiki, dibuka seluas-luasnya secara transparan, dan diawasi ketat untuk memastikan tidak ada lagi lansia yang dirugikan.

UU YANG DIDUGA DILANGGAR

1. UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

  • Pasal 26 ayat (4) huruf f → Kewajiban transparansi dan akuntabilitas.
  • Pasal 51 huruf a dan b → Larangan penyalahgunaan wewenang oleh perangkat desa.

2. UU Tipikor (UU 31/1999 jo. UU 20/2001)

  • Pasal 2 & 3: Penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
  • Ancaman hukuman: 4–20 tahun penjara + denda hingga Rp1 miliar.

3. UU KIP No. 14 Tahun 2008

  • Kewajiban pemerintah menyediakan akses informasi publik terkait dana desa.

4. UU Perlindungan Saksi & Korban

  • Melindungi pelapor dugaan penyimpangan dana desa.


Catatan Redaksi

Berita ini disusun berdasarkan hasil investigasi lapangan, laporan warga, serta dokumen resmi yang diperoleh tim. Redaksi membuka ruang klarifikasi bagi Pemerintah Nagari Tanjung Bonai atau pihak lain yang disebutkan dalam pemberitaan ini.

TIM

Pasien BPJS Dimintai Bayaran Besar, Investigasi Dugaan Permainan Alat Medis

PADANG | Dunia medis kembali tercoreng setelah mencuat dugaan tindakan tidak profesional terkait pelayanan kesehatan terhadap pasien fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Seorang pasien yang seharusnya mendapatkan layanan medis secara gratis sesuai mekanisme dan aturan BPJS, justru disebut dimintai biaya sebesar Rp 26 juta oleh oknum dokter saat akan menjalani tindakan medis yang berkaitan dengan pemasangan alat.

Kasus ini pertama kali mencuat dari laporan yang diterima pihak BPI KPNPA RI, sebuah lembaga yang dikenal fokus dalam pengawasan penyimpangan pelayanan publik, hukum, dan indikasi korupsi. Laporan yang diterima menyebut adanya dugaan permainan alat medis yang dilakukan di luar prosedur serta indikasi pelanggaran etik profesi.

Ketua BPI KPNPA RI sangat menyesalkan dugaan praktik tersebut. Menurutnya, ini bukan hanya persoalan etika kedokteran, tetapi juga berpotensi melanggar sejumlah aturan hukum, termasuk ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS yang mengatur bahwa pelayanan dasar dan tindakan yang ditanggung BPJS tidak boleh dibebankan biaya tambahan kepada peserta, kecuali dalam kategori layanan khusus yang diatur resmi.

Tidak hanya itu, dugaan pungutan dana ini juga bisa dikategorikan melanggar UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal mengenai pungutan yang dilakukan oleh pihak yang memiliki jabatan atau kewenangan dalam pelayanan publik. Jika benar terbukti, maka tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius yang merugikan masyarakat dan negara.

BPI KPNPA RI menyebut bahwa tindakan yang dilaporkan ini tidak bisa dianggap sebagai insiden kecil atau miskomunikasi teknis. Lembaga tersebut menilai, kasus ini memiliki indikasi pola yang perlu diusut dengan pendekatan investigatif oleh aparat penegak hukum serta Kementerian Kesehatan. Bahkan, lembaga tersebut menyatakan siap membawa kasus ini ke pemerintah pusat untuk ditindaklanjuti secara formal.

Selain dugaan pelanggaran hukum, indikasi penyimpangan prosedur medis juga menjadi perhatian. Jika benar alat yang digunakan tidak sesuai sistem pelayanan BPJS atau dilakukan berdasarkan komunikasi non-administratif tanpa surat keterangan medis resmi, maka tindakan tersebut juga berpotensi melanggar kode etik kedokteran (Kodeki) dan Standar Prosedur Operasional (SOP) rumah sakit.

Insiden dugaan komersialisasi alat dan tindakan medis ini dikhawatirkan dapat memperburuk kepercayaan publik terhadap akses kesehatan yang ditanggung negara. Masyarakat berharap kasus seperti ini tidak ditutup rapat, dilokalisasi, atau bahkan diselesaikan dengan pendekatan internal yang tidak transparan.

Pakar hukum kesehatan menyebut kasus ini harus dibawa ke tingkat investigasi formal agar tidak terjadi preseden buruk yang bisa dimanfaatkan oknum untuk mengambil keuntungan pribadi. Ia menegaskan bahwa seluruh mekanisme pelayanan medis harus berbasis pada regulasi resmi, bukan kesepakatan verbal antara tenaga kesehatan dan pasien tanpa dokumen legal.

Jika dugaan ini terbukti melalui penelusuran lanjutan, maka selain penegakan hukum pidana, rekomendasi sanksi administratif hingga pencabutan izin praktik bisa menjadi konsekuensi yang mungkin terjadi sesuai Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.


Catatan Redaksi:
Artikel ini disusun berdasarkan informasi dan keterangan yang muncul di ruang publik serta keterangan dari pihak pelapor. Dugaan pelanggaran masih memerlukan proses verifikasi, klarifikasi dari pihak rumah sakit, dokter terkait, BPJS Kesehatan, dan Kementerian Kesehatan sebagai pihak regulator.

TIM

Minggu, 26 Oktober 2025

Kasus Plasma Kinali: Thamrin, SH Desak Propam Mabes Polri Usut Dugaan Permainan Hukum

PASAMAN BARAT | Kasus hukum yang menjerat ZAIDIR, petani plasma Kinali sekaligus Ketua Koperasi Produsen Perkebunan Agro Wira Masang (KOPBUN-AWM), kian memanas. Dalam sidang pledoi di Pengadilan Negeri Pasaman Barat, Senin (27/10), Thamrin, SH, kuasa hukum terdakwa, dengan tegas menyebut kasus yang dihadapi kliennya sebagai bentuk kriminalisasi terhadap petani plasma.

“Ini murni kriminalisasi. Klien kami melakukan panen sawit di lahan plasma resmi dengan pengawalan kepolisian, tapi malah dituduh mencuri. Ada sesuatu yang tidak beres dalam proses hukum ini,” tegas Thamrin di hadapan majelis hakim.

Ia menyoroti adanya kekeliruan fatal dalam penerapan Pasal 363 KUHP yang dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Menurutnya, tuduhan pencurian tidak dapat diterapkan karena lahan dan hasil panen tersebut merupakan bagian dari kemitraan plasma antara petani dan perusahaan. “Pasal pencurian hanya bisa dipakai jika barang itu bukan dalam penguasaan pelaku. Dalam kasus ini, ZAIDIR justru memiliki hak atas sawit itu sebagai petani plasma,” ujarnya.

Lebih jauh, Thamrin mengungkapkan bahwa tindakan ZAIDIR bahkan dilakukan dengan pengamanan resmi dari Polda Sumatera Barat. “Ironinya, panen yang dikawal aparat negara justru dianggap pencurian. Ini bukan sekadar kekeliruan hukum, tapi keanehan yang mengarah pada rekayasa,” katanya.

Dalam pledoi setebal puluhan halaman itu, Thamrin juga mendesak Kadiv Propam Mabes Polri untuk turun tangan mengusut dugaan keterlibatan oknum aparat yang diduga bermain mata dengan pengurus KOPBUN-AWM. “Kami meminta Propam Mabes Polri mengusut tuntas anggota kepolisian yang diduga kongkalikong dengan pengurus koperasi kebun AWM. Ada indikasi kuat bahwa proses hukum ini tidak berjalan murni,” tegasnya.

Thamrin mengungkapkan, berdasarkan data yang mereka pegang, ketua koperasi yang menggugat ZAIDIR adalah seorang oknum ASN aktif, yang secara etik tidak seharusnya terlibat dalam urusan kemitraan usaha. “Ini aneh, ada oknum ASN yang malah memimpin koperasi dan menggugat petani peserta plasma. Ini jelas konflik kepentingan,” ujarnya dengan nada tinggi.

Dalam fakta persidangan, Thamrin menyampaikan bahwa perbuatan kliennya bukan tindakan memperkaya diri, melainkan perjuangan menegakkan hak petani plasma yang sudah bertahun-tahun tak mendapat kejelasan. “ZAIDIR hanya menuntut haknya sebagai petani plasma sesuai dengan SK Bupati Pasaman tahun 1998. Kalau ini masih disebut pencurian, maka keadilan sudah kehilangan arah,” paparnya.

Ia meminta majelis hakim menggunakan hati nurani dalam memutus perkara ini. “Fakta di lapangan sudah jelas. Tidak ada niat jahat, tidak ada upaya memperkaya diri. Klien kami justru berjuang agar petani plasma bisa hidup layak dan mendapatkan bagi hasil yang dijanjikan sejak awal kemitraan,” tutur Thamrin.

Terpisah, salah seorang pengurus KOPBUN-AWM saat dihubungi media ini mengatakan pihaknya tetap menyerahkan proses hukum kepada aparat penegak hukum. “Kami serahkan kepada pihak berwenang, karena perbuatan para terdakwa dianggap merugikan koperasi,” ujarnya singkat.

Namun pernyataan itu tak meredam gelombang kritik publik. Sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat di Pasaman Barat menilai bahwa kasus ini menjadi gambaran buram hubungan antara petani plasma dan perusahaan inti yang sering tidak adil. “Kalau petani plasma yang mengolah lahan malah dipenjara, sementara perusahaan dan pengurus koperasi yang menelantarkan hak mereka bebas, maka ini tragedi hukum,” ujar salah seorang tokoh warga Kinali.

Sidang berikutnya akan dilanjutkan dengan agenda pembacaan putusan oleh majelis hakim. Publik kini menunggu apakah pengadilan akan berpihak pada keadilan substantif atau sekadar menegakkan teks hukum secara kaku tanpa mempertimbangkan fakta sosial.


Catatan Redaksi:
Kasus ZAIDIR membuka tabir gelap praktik kemitraan plasma sawit di berbagai daerah. Jika benar ada kongkalikong antara aparat penegak hukum dengan pengurus koperasi, maka keadilan bagi petani kecil terancam sirna. Mabes Polri dan lembaga pengawas harus turun tangan agar hukum tidak lagi menjadi alat penindasan terhadap rakyat kecil yang berjuang di tanahnya sendiri.

Selasa, 21 Oktober 2025

Mutu Beton Diragukan, BBM Ilegal Dipakai — Proyek Batang Suliti Diduga Langgar UU Migas dan Minerba

Solok Selatan | Proyek Pengendalian Banjir Batang Suliti (Tahap II) di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat, yang menelan anggaran Rp31.867.624.000,00, kini menjadi sorotan tajam publik.

Proyek strategis Kementerian PUPR melalui Balai Wilayah Sungai Sumatera V Padang (SNVT PJSA Batanghari) itu diduga kuat menggunakan material tak bersertifikat dan BBM non-industri ilegal untuk mendukung operasional alat berat.
Proyek ini dilaksanakan oleh PT Daka Megaperkasa dengan masa kerja 240 hari kalender di bawah tanggung jawab PPK RiskiPeltek Dedy Arianto (Udo), dan pelaksana lapangan Togu Pakpahan. Hasil penelusuran lapangan menemukan indikasi bahwa mutu pekerjaan tidak memenuhi standar konstruksi sebagaimana mestinya.

Material Diduga Diambil Langsung dari Sungai

Beberapa sumber di lapangan menyebut, material utama seperti pasir dan batu tidak berasal dari quarry resmi, melainkan diambil langsung dari aliran sungai sekitar proyek dengan dalih penggunaan material setempat.

Padahal, tindakan tersebut melanggar Pasal 27 ayat (1) PP No. 22 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Jasa Konstruksi serta UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, karena tergolong penambangan ilegal.

“Pasir dan batu banyak diambil dari sungai sekitar. Tidak ada izin pengambilan, tapi tetap digunakan untuk pekerjaan,” ungkap seorang pekerja yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Praktik semacam ini tidak hanya menyalahi aturan hukum, tetapi juga berpotensi menurunkan mutu beton karena material dari sungai tidak melalui proses uji kualitas atau gradasi sesuai ketentuan teknis.

BBM Non-Industri Diduga Dipakai untuk Alat Berat

Selain material, proyek senilai puluhan miliar rupiah ini juga diduga menggunakan BBM non-industri alias ilegal untuk alat berat dan mesin pengolahan material.

Dalam satu minggu, proyek ini diperkirakan menghabiskan sekitar 10 ton BBM, atau sekitar 40 ton per bulan, namun dokumen resmi dari penyalur hanya tercatat sekali.

Sumber internal menyebut, pengiriman berikutnya tidak disertai dokumen resmi, bahkan ada indikasi penggunaan surat jalan palsu.

Hal ini melanggar Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, dengan ancaman pidana 6 tahun penjara dan denda hingga Rp60 miliar.

“BBM-nya tidak dari depot industri resmi. Mereka beli dari luar, katanya lebih murah. Tapi itu jelas bukan untuk proyek pemerintah,” ujar salah satu pekerja yang mengetahui praktik tersebut.

Dampak dan Potensi Kerugian Negara

Penggunaan material sungai tanpa izin dan BBM non-industri berisiko besar terhadap mutu konstruksi dan efisiensi anggaran negara.

Selain menyalahi aturan, tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara karena spesifikasi dan perhitungan biaya dalam kontrak menggunakan standar bahan resmi bersertifikat.

Para pengamat menilai, jika dugaan ini benar, maka proyek tersebut layak diaudit secara menyeluruh oleh Inspektorat Jenderal Kementerian PUPRBPKP Sumbar, dan Polda Sumatera Barat.

“Kalau BBM ilegal dan material tak berizin digunakan dalam proyek negara, itu bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi sudah masuk ranah pidana,” ujar seorang pemerhati kebijakan publik di Padang.

Ketentuan Hukum yang Berpotensi Dilanggar

  • UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas
    Penggunaan BBM non-industri tanpa izin resmi.
    Ancaman: Penjara maksimal 6 tahun dan denda Rp60 miliar.

  • UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba
    Pengambilan material dari sungai tanpa izin.
    Ancaman: Penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp100 miliar.

  • Permen PUPR No. 10/PRT/M/2021
    Kewajiban menjaga mutu dan keselamatan konstruksi.
    Sanksi: Pemutusan kontrak, denda, hingga blacklist perusahaan.

Dengan nilai proyek mencapai Rp31,8 miliar lebih, publik berharap proyek pengendalian banjir Batang Suliti tidak menjadi ajang penyimpangan teknis dan penyalahgunaan anggaran.

Audit independen dan penegakan hukum dianggap sebagai langkah penting agar proyek strategis ini benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat Solok Selatan.

Catatan Redaksi:

Berita ini disusun berdasarkan hasil investigasi lapangan, dokumen pendukung, serta keterangan dari berbagai sumber terpercaya.

Redaksi membuka ruang konfirmasi bagi pihak Balai Wilayah Sungai Sumatera V PadangPPK RiskiPeltek Dedy Arianto, dan PT Daka Megaperkasa untuk memberikan klarifikasi dan hak jawab sesuai Kode Etik Jurnalistik.

TIM

Selasa, 14 Oktober 2025

Aroma Solar Gelap dan Janji Palsu di Tanah Panas Bumi: Supreme Energy Disorot Masyarakat Solok Selatan

Solok Selatan, Sumatera Barat – 14 Oktober 2025 | Gelombang kemarahan warga Jorong Pekonina di Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan, meledak di depan gerbang proyek panas bumi milik PT Supreme Energy Muara Laboh (SEML).

Warga menuduh perusahaan besar itu melanggar izin adat, menyalurkan solar ilegal, dan mengingkari perjanjian perekrutan tenaga kerja lokal yang dulu dijanjikan kepada masyarakat.

Spanduk protes terbentang lebar di jalan masuk proyek, dengan tulisan keras:

“Jangan Rampas Tanah Ulayat Kami!”

“Janji 70% Tenaga Lokal Itu Nyata, Bukan Iklan!”

Janji 70% Tenaga Lokal Berubah Jadi 20%: “Kami Hanya Penonton di Tanah Sendiri

Sebelum proyek geothermal itu berdiri, PT Supreme Energy menjanjikan 70% tenaga kerja akan berasal dari masyarakat Solok Selatan, dan hanya 30% dari pihak luar atau pusat.

Namun kini, warga menyebut hanya 20% orang lokal yang bekerja di dalam proyek, sementara sisanya 80% didatangkan dari luar daerah.

“Kami bukan menolak pembangunan. Tapi jangan tipu kami. Janjinya 70% untuk masyarakat Solok Selatan, kenyataannya kami cuma jadi penonton,” ujar seorang tokoh masyarakat Pekonina yang hadir dalam aksi.

Ironisnya, di saat tenaga kerja lokal terpinggirkan, jalan menuju proyek justru dibuka tanpa izin masyarakat adat, melanggar etika dan kesepakatan wilayah ulayat.

“Itu tanah kami, tanah adat. Dibuka begitu saja tanpa musyawarah. Ini bentuk arogansi perusahaan,” tambahnya.

Jejak Solar Ilegal: 50 Ribu Liter per Bulan Diduga Masuk Tanpa Dokumen Resmi

Sumber investigasi di lapangan menyebutkan, PT Supreme Energy diduga menerima pasokan solar ilegal sekitar 50 ribu liter per bulan, yang disuplai oleh seorang pemasok berinisial Pindo, dengan jaringan distribusi berasal dari Palembang dan Kuala Tungkal Jambi.

Namun setiap kali pasokan masuk, dokumen permintaan dan faktur pajak tidak pernah ditunjukkan.

“Yang datang cuma surat jalan biasa. Tidak ada dokumen resmi dari perusahaan atau ESDM,” ujar seorang pekerja lapangan yang meminta identitasnya disembunyikan.

Dugaan ini mengarah pada tindak pidana penyalahgunaan bahan bakar minyak bersubsidi dan pemalsuan dokumen, sebagaimana diatur dalam:

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,

Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen.

Lebih parah, warga menduga ada bekingan oknum aparat yang mengamankan arus distribusi solar tersebut agar lolos dari pemeriksaan jalan raya.

Solar Palsu, Mesin Rusak, dan Kerugian Masyarakat

Dampak solar ilegal itu kini nyata terasa.

Banyak sopir dan operator alat berat mengeluhkan kerusakan filter dan mesin kendaraan akibat solar yang cepat kotor dan mengandung endapan.

“Biasanya filter solar diganti tiga bulan sekali, sekarang dua minggu sudah rusak. Solar palsu bikin mesin cepat mati,” kata seorang sopir proyek yang menunjukkan foto saringan minyak hitam pekat.Kerusakan beruntun membuat warga menanggung beban ekonomi baru. Padahal sebagian besar dari mereka bekerja harian dengan upah pas-pasan.

“Kami disuruh kerja, tapi malah dirugikan. Solar palsu bikin rugi kami, bukan perusahaan,” ujarnya.

PLT Anwar Bungkam, Humas Supreme Energy Pilih Diam

Upaya media untuk meminta konfirmasi kepada pihak perusahaan berujung buntu.

Anwar, yang kini menjabat sebagai Pelaksana Tugas (PLT) pimpinan proyek, menolak ditemui dan memilih diam.

Seorang staf humas hanya menyebutkan bahwa pihaknya “menunggu arahan pimpinan”.

“Kami belum bisa memberikan pernyataan. Kepala perusahaan sedang cuti,” ujarnya singkat melalui pesan WhatsApp.

Sementara Pindo, pihak yang disebut sebagai pemasok solar, membantah keras tudingan tersebut.

“Saya hanya kirim minyak sesuai permintaan PT Supreme Energy. Tidak pernah ada komplain,” ujarnya.

“Perisai Wartawan”: Dugaan Strategi Menutup Isu Negatif

Selain persoalan solar ilegal dan janji kerja yang diingkari, warga juga menyoroti langkah perusahaan yang diduga membentuk kelompok wartawan binaan untuk meredam berita buruk tentang perusahaan.

“Kalau mereka bersih, kenapa harus sembunyi di balik wartawan binaan? Itu cara membungkam kritik,” ujar seorang peserta aksi dengan nada geram.

Desakan Audit dan Penyelidikan Hukum

Warga Pekonina menuntut agar Kementerian ESDM, Dinas Lingkungan Hidup Sumbar, dan Kepolisian Resor Solok Selatan segera menggelar audit operasional PT Supreme Energy.

Mereka juga meminta Kejaksaan Negeri Solok Selatan menelusuri dugaan kerugian negara akibat solar ilegal yang bisa mencapai miliaran rupiah setiap tahun.

“Kami minta audit dan tindakan hukum. Jangan ada perusahaan besar yang kebal hukum di atas penderitaan rakyat kecil,” tegas salah seorang perwakilan aksi.

Catatan Redaksi:

Berita ini disusun melalui investigasi lapangan, keterangan saksi masyarakat, serta upaya konfirmasi resmi kepada pihak PT Supreme Energy Muara Labuh, PLT Anwar, dan pemasok solar terkait. Hingga berita ini diterbitkan, redaksi belum menerima tanggapan resmi dari pihak perusahaan maupun instansi terkait.

Redaksi tetap membuka ruang hak jawab bagi PT Supreme Energy, Kementerian ESDM, dan aparat hukum untuk klarifikasi lebih lanjut.

TIM

Ad Placement

Intermezzo

Travel

Teknologi